Jika kamu mengira bacaan ini khusus 60 ke atas, sini mampir sebentar! Tulisan ini untuk kamu, siapa pun kamu dan di usia berapa pun kamu saat ini.Topik merawat jenazah barangkali bukan hal yang menarik untuk diperbincangkan. Akan lebih banyak yang skip pembahasan ini daripada yang secara sadar mau menyimak. Kecuali mungkin, bagi beberapa orang saja yang baru saja atau mungkin akan berada di sekitar ujian kematian di keluarganya.
Mengapa saya bahas ini? Hari Ahad, tanggal 9 Maret 2025 kemaren, saya baru saja mengikuti pelatihan perawatan jenazah di masjid depan rumah. Ini kedua kalinya saya ikut kegiatan serupa. Sekitar 9 tahun lalu saya pernah ikut untuk pertama kali. Saat itu masih dengan perasaan takut, enggan, dan rasanya pingin kabur saja manakala mulai proses mengkafani. Posisi tangan saya saat itu mengatup di bawah dagu sambil menutupi mulut, dan saya berusaha sembunyi di belakang teman sambil mengintip penjelasan Ustadz. Saat itu saya masih ikut-ikutan saja kegiatan tersebut, belum memiliki kesadaran kuat untuk benar-benar memahami ilmunya.
Tapi kali ini, bismillah InsyaAllah sudah lebih siap, lebih antusias, dan dengan kesadaran untuk betul-betul memahami dan agar bisa mempraktekkannya. Dan alhamdulillah, kegiatan belajar kali ini langsung praktek nyata dengan manequin, mulai dari memandikan, mengkafani, dan menshalatkan. Tapi untuk acara menguburkannya tidak praktek. Kalau dulu malah sampai menguburkan, tapi praktek seperti memandikannya masih menggunakan isyarat, tidak langsung guyur-guyur berbasah ria.
Setelah saya mengikuti pelatihan merawat jenazah yang pertama, qodarullah saya harus terlibat dalam perawatan jenazah bulek saya yang meninggal karena kanker. Peristiwa singkat namun membawa makna besar itu, memaksa saya untuk merefleksikan kembali tentang bagaimana seharusnya merawat seorang yang meninggal dunia. Saat itu saya hanya ikut membantu memandikan bulek bersama putri beliau, ibu dan bulek saya yang lainnya. Sementara itu putranya, dan keluarga laki-laki lainnya berada di sekitarnya membantu menutupi dan menjaga keamanannya.
Meski hanya ikut memandikan, saya ikut merekam bagaimana proses perawatan jenazah yang lainnya. Selain itu, ingatan saya juga menyimpan memori bagaimana keluarga berkabung dan seliweran-seliweran suara orang-orang di seputar meninggalnya bulek.
Setelah peristiwa itu, urusan seputar keluarga yang berpulang menjadi perhatian saya. Ada pertanyaan-pertanyaan bagaimana sebenarnya cara merawat jenazah yang benar menurut syari'at. Dan juga bagaimana mempersiapkan diri dan keluarga menghadapi kematian yang akan terjadi. Dengan izin Allah Ta'ala, saya akhirnya menemukan jawabannya pada kegiatan pelatihan perawatan jenazah di Ramadhan 1446 H kali ini.
Kegiatan tersebut mengundang pembimbing dari Tim Pemuliaan Jenazah Aisyiyah Muhammadiyah Daerah. Kegiatan berdurasi 3 jam itu sangat terstruktur dan menggunakan alat peraga sehingga bisa langsung mempraktekkannya. Acara dihadiri oleh ibu-ibu jamaah masjid dan bapak takmir masjid. Kebanyakan peserta berusia di atas 50 tahun. 3 orang peserta di bawah 50 tahun adalah jamaah yang belum lama mengalami duka karena keluarganya meninggal.
Saya merasa perlu mendokumentasikan ini dalam bentuk tulisan untuk mengajak saudara-saudara muslim lainnya agar lebih dini mau mempelajari tentang ketentuan syari'at seputar kematian.
Bagaimana mempersiapkan diri menghadapi kematian yang pasti akan terjadi untuk diri kita sendiri dan untuk orang tersayang di sekitar kita. Apalagi sebagai muslimah yang peduli dengan syari’at, tentu sudah seharusnya sadar untuk berilmu tentangnya.
Bagaimana mempersiapkan diri menghadapi kematian yang pasti akan terjadi untuk diri kita sendiri dan untuk orang tersayang di sekitar kita. Apalagi sebagai muslimah yang peduli dengan syari’at, tentu sudah seharusnya sadar untuk berilmu tentangnya.
Persiapkan dan Muliakan
Meski pada intinya merawat jenazah, Ibu Ais sebagai ketua Tim Pemuliaan Jenazah Aisyiyah, membahasakannya dengan memuliakan jenazah. Di sini Bu Ais mengajarkan untuk menghormati dan memperlakukan jenazah seperti ketika dia masih bernyawa. Nama Timnya pun adalah Tim Pemuliaan Jenazah, bukan Tim Perawatan Jenazah.
Saat melihat tubuh terbujur ditutupi kain jarik, pikiran kita otomatis berpikir itu adalah jenazah. Misalnya jenazah itu sebelumnya kelurga kita yang sakit, setelah dinyatakan meninggal rasanya otomatis ada perasaan "terputus" dari dia sebagai makhluk bernyawa. Dan kita kadang mulai bingung bangaimana bersikap. Harus diapakan, harus digimanakan? Padahal ketika masih bernyawa, meskipun sedang koma, kita masih punya inisiatif untuk mengelus kakinya, tangannya, mengecek suhu badannya, dan bahkan berbicara dengannya meski tak berbalas. Namun, begitu dinyatakan meninggal, mendadak bingung mau ngapain lagi? Ada perasaan takut yang tiba-tiba menjalar, shock karena duka kehilangan. Setidaknya, sudah 3 kali saya berada di sekitar situasi seperti itu.
Bu Ais mengajarkan, jika di hadapan kita jenazah, ayo bantu dia mempersiapkan diri menghadap Rabbnya dalam kondisi sebaik-baiknya. Mari kita bersihkan, mandikan, kafani, shalatkan, dan kuburkan. Ya, itulah kewajiban muslim yang fardhu kifayah hukumnya.
Dan sebelum diberangkatkan ke tempat istirahat terakhirnya, kondisikanlah dia menemui keluarganya untuk yang terakhir kali dalam keadaan yang sempurna, siap berpisah, siap berangkat. Saya trenyuh sekali mendengarkan bagaimana harusnya kita menata mindset dan sikap terhadap jenazah. Membantu dia yang tidak berdaya dengan cara yang sebaik-baiknya, memuliakannya dengan keikhlasan dan penjagaan terhadap aib-aibnya sungguh merupakan amalan yang sangat mulia.
Calon Jenazah di Hadapanku
Tim Pemuliaan Jenazah Aisyiyah ini sebagian adalah mantan perawat Rumah Sakit. Bu Ais sendiri dulunya adalah rohaniawan di RS yang bertugas memberi support kepada para pasien rawat inap dan keluarganya. Pantas saja beliau ini paham betul dengan kondisi jenazah dan terlihat welas asih saat membicarakan jenazah. Jenazah baginya adalah manusia yang harus ditolong untuk menghadap Rabbnya.
Saat menjadi rohaniawan RS tersebut, Bu Ais sering menemui sikap keluarga pasien kritis yang kurang pada tempatnya. Misal kondisi keluarganya sudah koma, tidak sadarkan diri. Keluarga pun sudah mempersiapkan diri atas kemungkinan terburuknya yaitu meninggal dunia. Namun, di sela menunggui pasien koma itu, tidak melakukan protokol seperti yang diajarkan syari'at. Bahkan hanya membiarkannya sambil bermain hape.
Apa saja yang diajarkan Islam jika menghadapi seorang yang sakaratul maut? Ingat selalu, sakaratul maut adalah saat pertarungan terakhir sebuah jiwa dengan setan. Saat itu jiwa seoarng muslim tengah dikerubuti oleh setan yang berusaha mengkafirkannya. Karena itu sebaiknya keluarga sering mentalqinnya dengan kalimat Tahlil "Laa ilaaha illallaah". Talqin ini dilakukan secara berkala agar diikuti. Meskipun keadaan koma, tapi pasien bisa mendengarnya.
Selain itu, bacalah Qur'an di sekitarnya, untuk membuat pasien yang sedang koma berada pada situasi yang tenang dan selalu mengingat Allah.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan memijitinya dengan lembut. Meski tidak merespon, tapi dia akan merasakan sentuhan kasih sayangnya dan merasa mendapatkan perhatian sehingga masih bisa merasa berharga meski terpejam.
Hindari scrolling hape dalam waktu lama untuk sesuatu yang tidak penting. Mungkin hal semacam itu bisa dilakukan saat di luar ruangan. Di sini empati kita diuji, antara fokus memberi perhatian pada keluarga yang sedang sakit atau membunuh rasa bosan dengan bermain hape.
P3K Pada Jenazah
Apa yang harus dilakukan keluarga saat ada yang meninggal? Ternyata banyak orang yang belum tahu.
Menjadi Calon Jenazah
Beberapa pasien Bu Ais ketika ditalqin menolak "Ga usah, aku wes iso dewe". Ini menunjukkan orang-orang yang semasa sehatnya terbiasa berdzikir mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dan mungkin juga dzikir lainnya, akan lebih mudah menghadapi masa sakarotul mautnya. Karena itu beliau berpesan agar sejak sekarang kita membiasakan diri untuk berdzikir di setiap keadaan.
Jika kita punya kesadaran untuk mempersiapkan kematian sejak dini, tidak apa untuk mulai mengajak keluarga membicarakan hal ini. Mungkin awalnya akan terasa aneh, namun lama-lama akan mulai menerima. Ini juga sebagai edukasi untuk anak-anak untuk mau berpikir ke depan tentang realitas hidup yang paling real itu adalah mati.
Saat ini telah banyak muslim yang secara sadar mempersiapkan sendiri kematiannya, dalam artian mempersiapkan pakaian dan perlengkapannya. Saat sudah mimiliki sendiri pakaian untuk kafan dan proses mandi, maka ketika tiba masanya tidak bingung lagi mencari ke sana-ke mari. Perlengkapan seperti ini biasanya dapat diperoleh di toko perlengkapan muslim.
Penting juga bagi kita apabila mungkin telah sakit yang parah, untuk berwasiat kepada keluarganya tentang siapa yang dipercaya untuk mengurus jenazahnya nanti. Selain anak-anaknya, bisa menunjuk Tim Pemuliaan Jenazah mana yang dipercayanya.
Bakti Terakhir
Kesadaran saya untuk mau belajar tentang merawat jenazah ini sebenarnya bukan murni keinginan sendiri. Ada peran ibu yang mendorong saya untuk mau mempelajarinya. Enggan? Tentu saja awalnya begitu. Namun ibu saya selalu memberitahu tentang pentingnya mempersiapkan diri untuk bisa merawat jenazah ibu nanti. Melow ya pastinya mendengar permintaan seperti itu.
Jadi, akhirnya saya mulai membuka pikiran untuk belajar. Dan setelah itu kesempatan-kesempatan belajar mulai terbuka. Namun saya juga meyakini belum tentu saya yang akan merawat jenazah ibu, karena bisa jadi anak lebih dahulu meninggal daripada ibunya. Tapi, ya tetap belajar saja sebagai kewajiban seorang muslim.
Saat Tim Pemuliaan Jenazah merawat jenazah orang tua, biasanya mewajibkan anak-anaknya yang sejenis (ibu-anak perempuan) untuk ikut memandikannya.. Dan bagian anak yang utama adalah membersihkan kotorannya. Tim akan mengajarinya.
Namun permasalahannya, banyak yang tidak mau, tidak siap, takut, dan lain sebagainya. Mungkin kita bisa menebak ya mengapa jarang yang mau melakukannya. Salah satunya adalah karena hal ini tidak pernah ada yang mengajarkannya atau bahkan memberitahunya pun tidak. Padahal ini merupakan wujud bakti terakhir kita pada orang tua.
Saya sendiri pun tidak tahu bagaimana akan melakukan yang harus saya lakukan. Meski secara sadar mau mempelajarinya, mempraktekkannya sendiri butuh mental dan iman yang kuat.
Jangan Biarkan Kompor Menyala di Rumahnya
Orang yang "kesripahan"/berduka itu berat menghadapi dan menjalaninya. Merasa shock, terpukul, dan tiba-tiba lemas tak berdaya adalah wajar bagi keluarga yang ditinggalkan. Berikut ini adalah pesan untuk para kerabat dan tetangga orang yang meninggal dunia.
Bu Ais memberikan pesan "Jangan biarkan kompor menyala di rumahnya". Jangan biarkan keluarga yang berduka membuat makanan untuk para tamu, meskipun hanya merebus air untuk membuat teh. Tampaknya akan sulit mempraktekkan ini di masyarakat. Ada masyarakat yang terlanjur menjadikan tempat orang meninggal sebagai tempat makan-makan dengan dalih untuk sedekah keluarga atas nama yang meninggal dunia. Para ulama menghukumi ini bid'ah karena memang nyari-nyari alasan saja untuk beribadah dengan inisiatif sendiri tanpa tuntunan Rasul. Tidak ada ajaran Rasulullah menyuruh keluarga si mayit bersedekah, tahlilan dan makan-makan di rumahnya. Para sahabat hingga para ulama pun tidak melakukannya.
Di daerah Jogja, ada masyarakat yang sudah mempraktekkan "jangan biarkan kompor menyala di rumahnya" ini. Jadi, saat tetangganya meninggal, malah tetangga-tetangganya yang datang membawa rantangan makanan untuk meringankan duka keluarga yang ditinggalkan dan untuk menjamu tamu yang datang dari jauh. Ini justru yang sesuai dengan sunnah, seperti peirntah Rasulullah untuk membuatkan makanan untuk keluarga Ja'far yang sedang berduka.
Cara lain adalah dengan mendampingi di rumahnya dan memasakkannya di rumahnya dengan suka rela tanpa merepotkan dan membebani pihak yang berduka terkait bahan makanan atau bahkan di mana letak perabot ini itu. Bantu sebisanya tanpa mengganggu.
Pahlawan di Penghujung Usia
Tidak banyak yang memikirkan siapa yang akan mengurus dirinya ketika wafat nanti. Padahal itulah moment terberat seseorang di dunia, saat tak berdaya dan butuh pertolongan merawatnya untuk siap berangkat meninggalkan dunia. Hal sepenting itu biasanya hanya diserahkan pada Pak Modin atau pihak Rumah Sakit. Padahal seharusnya keluarganya lah yang paling berhak dan berkewajiban melakukannya.
Karena pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang hal ini masih minim, akan sangat membantu apabila setiap masjid yang memiliki kemampuan untuk membentuk Tim Pemuliaan Jenazah (TPJ). TPJ inilah yang bisa diharapkan menjadi pahlawan di penghujung usia bagi setiap warga di lingkungan tersebut.
Untuk pembentukan TPJ bisa menggunakan pedoman sebagai berikut:
Kriteria Tim
Siapa saja yang akan berperan sebagai TPJ, harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
- Bermental kuat. Mental kuat diperlukan saat menghadapi jenazah maupun saat berkomunikasi dan berdakwah kepada keluarganya.
- Ikhlas dalam menjalankan tugasnya merawat jenazah.
- Amanah dan terpercaya dalam .menjaga aib-aib jenazah, tidak boleh membicarakannya dengan siapa pun
- Sehat jasmani rohani. Mengurus jenazah butuh tenaga dan daya tahan
- Siap On Call. Ini seperti pekerjaan bidan, kapan pun diperlukan harus siap datang saat itu juga. Karena jenazah harus segera ditangani sebelum kaku. Jadi, meski jam 1 dini hari harus siap datang
Perlengkapan
Persiapan perlengkapan yang lengkap akan sangat membantu kelancaran proses pemuliaan jenazah. Beberapa perlengkapan ini perlu dipikirkan ketersediaannya oleh tim:
- Set alat memandikan berupa 2 bak, 2 gayung, selang, meja, dan tirai penutup. Akan lebih baik jika ada alat khusus untuk menampung kotoran dan untuk membuangnya. Tapi jarang yang memiliki ini.
- Perlengkapan mandi berupa sabun, antiseptik cair, daun bidara, kapur barus, dan handuk. Bisa juga ditambahkan washlap, cotton bud, dan underpad atau diapers apabila khawatir masih akan ada kotoran tertinggal setelah berupaya dibersihkan dengan seksama. Ini terjadi karena kondisi jenazah berbeda-beda.
- Set kain kafan berupa 2 lembar kain kafan untuk laki-laki, 5 lembar kain kafan untuk perempuan, 3 lembar jarik, kapur barus, sisir, bedak, minyak wangi
Pembekalan
Tim perlu membekali diri dengan keterampilan merawat jenazah, kecakapan berkomunikasi dengan sabar, dan ilmu syar'i seputar kematian. Hal ini sangat penting karena banyak masyarakat yang masih mempraktekkan perawatan jenazah yang tidak sesuai syariat.
Tata Laksana
Tata laksana perawatan jenazah pada prinsipnya berupa memandikan, mengkafani, menshalatkan, dan menguburkan. Pembahasan detail mengenai ini InsyaAllah akan dibahas dalam postingan berikutnya karena cukup panjang.
Mengajak diri untuk berani berdialog batin sejak dini tentang persiapan kematian, paling tidak akan membuat kita lebih realistis. Dan meski dalam diam, hati kita pelan-pelan akan menyiapkan diri untuk lebih “tatak” Pikiran tak lagi menolak untuk mulai mau belajar, sehingga kemungkinan menyesal karena mengabaikan kematian bisa dikurangi.
Pada akhirnya, memang tak ada penawar paling baik dari sebuah sesal selain pengakuan dan waktu. Begitu pun tak ada yang bisa mengurangi risiko besarnya penyesalan selain kesadaran lebih awal dan waktu mempersiapkannya. Semoga dengan menyadari dan mempelajari sedikit demi sedikit tata cara merawat jenazah, akan membuat kita lebih mawas diri sejak dini.
Belajar Atau Menyesal
Bagaimana perasaanmu setelah membaca ini, Teman Fillaah? Biasa saja atau ada rasa lain? Apakah muncul kesadaran baru tentang mempersiapkan saat terakhir untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat? Apakah mulai berani membuka obrolan tentang ini dengan keluarga atau sahabat? Jika belum, paling tidak jangan lagi menghindari realita yang pasti akan terjadi ini.Mengajak diri untuk berani berdialog batin sejak dini tentang persiapan kematian, paling tidak akan membuat kita lebih realistis. Dan meski dalam diam, hati kita pelan-pelan akan menyiapkan diri untuk lebih “tatak” Pikiran tak lagi menolak untuk mulai mau belajar, sehingga kemungkinan menyesal karena mengabaikan kematian bisa dikurangi.
Pada akhirnya, memang tak ada penawar paling baik dari sebuah sesal selain pengakuan dan waktu. Begitu pun tak ada yang bisa mengurangi risiko besarnya penyesalan selain kesadaran lebih awal dan waktu mempersiapkannya. Semoga dengan menyadari dan mempelajari sedikit demi sedikit tata cara merawat jenazah, akan membuat kita lebih mawas diri sejak dini.
Post a Comment